Ditulis oleh: Sirajudin Hasbi
Ketika berbicara tentang kebugaran pesepakbola, hal yang akan terlintas di benak kita pertama kali adalah cedera. Kata cedera sudah menjadi demikian umum bagi pelaku dan pecinta sepak bola. Cedera juga menjadi hal yang paling ditakuti, terlebih jika dia menimpa pemain bintang. Dan sudah pasti pula hal itu akan menjadi tajuk utama di berbagai media.
Oleh karenanya, semua klub mafhum bahwa mereka perlu punya staf untuk memastikan kebugaran pemain. Salah satu yang selalu menjadi sorotan ketika kita berbicara tentang usaha untuk menjaga kebugaran pemain adalah Laboratorium AC Milan (Lab Milan).
Lab Milan merupakan pusat studi interdisiplin dengan teknologi paling mutakhir yang mencatat dan menganalisis kebugaran pemain. Setiap pemain dicatat performanya, riwayat cedera, hingga prediksi cedera yang akan dideritanya sehingga bisa dilakukan tindakan pencegahan.
Awal Mula Lab Milan
Lab Milan selalu menjadi pembicaraan dalam hal menjaga kebugaran pemain lantaran keberhasilan mereka yang sudah terbukti. Lab Milan berhasil membantu pemain seperti Paolo Maldini, Alessandro Nesta, hingga Fillippo Inzaghi bermain hingga usia senja dengan level permainan kelas Eropa.
Berdirinya Lab Milan bermula dari kesalahan transfer yang dilakukan oleh manajemen AC Milan saat mentransfer Fernando Redondo dari Real Madrid. Redondo merupakan pemain yang bagus dan sedang berada dalam performa terbaiknya ketika dibeli. Setelah melalui tes medis, Redondo resmi dikontrak AC Milan dengan biaya transfer 11 juta pounds. Di tahun 2000, nilai itu cukup besar tapi banyak pihak yang beranggapan itu sebanding dengan kemampuan Redondo.
Tapi, semuanya kemudian kecewa dan tindakan manajemen AC Milan mentransfer Redondo hanya menjadi bahan lelucon. Redondo gagal bersinar. Tidak hanya itu, di dua musim awalnya, dia tidak sekalipun bermain dalam laga resmi bersama Il Rossoneri akibat cedera yang dideritanya. Selama empat tahun di AC Milan, Redondo hanya bermain total 16 pertandingan.
Tentu saja kasus Redondo ini membuat bos AC Milan, Silvio Berlusconi berang. 11 juta pounds tanpa bermain selama dua musim membuatnya marah besar dan memecat semua tim medis AC Milan yang dianggap lalai tidak bisa memprediksi cedera pemain yang akan direkrut. Jika itu diketahui lebih awal tentunya transfer Redondo tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Berangkat dari kasus ini, AC Milan lantas berinvestasi jutaan pounds untuk membuat Lab Milan. Belakangan Lab Milan bekerjasama dengan Microsoft untuk mendukung perangkat teknologi yang dipergunakan untuk mendukung kinerja staf Lab Milan. Tujuan didirikannya Lab Milan ini untuk menjaga kebugaran pemain dan juga untuk menghindari pembelian mahal yang kemudian tersia-siakan karena mengalami cedera.
Jean Pierre Meerssmen, dokter asal Belgia, ditunjuk menjadi kepala Lab Milan pertama. Lab Milan pun resmi beroperasi pada tahun 2002 dan disebut-sebut sebagai fasilias kesehatan paling mutakhir di Eropa. Lab Milan menerapkan metode Kinesiology. Metode ini digunakan untuk menganalisis kondisi pemain dengan lebih baik.
Salah satu medote yang diterapkan oleh Lab Milan disebut Dynajump. Analisis kondisi pemain dilakukan dengan cara pemain diminta untuk melompat. Dengan Dynajump bisa diperkirakan 70% cedera pemain dengan akurat. Kelebihan lain dari Lab Milan ini adalah jika klub top lain memiliki dokter spesialis kardiologi, lutut, atau dokter umum, maka Lab Milan melenggkapinya dengan ahli matematika, ahli teknik, dan lainnya yang bertugas untuk mencatat semua data.
Data ini dicatat per pemain sehingga nantinya bisa diberikan perawatan khusus bagi setiap pemain. Lab Milan berprinsip bahwa setiap pemain memiliki keunikannya masing-masing sehingga perlu penanganan yang khusus pula. Selain itu, data ini setiap musimnya bisa digunakan untuk pertimbangan kebijakan transfer pemain dan seleksi pembentukan skuat musim baru. Siapa yang layak dipertahankan dan siapa yang akan masuk daftar jual bisa ditentukan dengan data yang dimiliki oleh Lab Milan.
Dampak Positif Lab Milan
Kehadiran Lab Milan pun langsung terasa bagi skuat AC Milan. Kebugaran pemainnya cukup bagus. Transfer gagal sangat jarang terjadi. Bahkan AC Milan yang kerap meminjam pemain bisa memaksimalkan pemain yang biasanya tersia-siakan di klub terdahulunya.
Paolo Maldini yang mulai memperoleh perawatan di Lab Milan di usianya yang sudah menginjak 32 tahun bisa bermain hingga sembilan tahun kemudian. Marcos Cafu dan Serginho juga bisa terus bermain dengan baik hingga usia senja. Bahkan saat mereka kini sudah bermain untuk Milan Glorie pun nampak fisiknya masih cukup bagus. Bisa dibilang fisik mereka masih mampu untuk bermain di liga Indonesia dan tetap bisa menjadi pemain bintang di sini.
Clarence Seedorf ketika datang ke AC Milan dari Inter Milan di musim 2002/2003 mendatangi Jean Pierre Meerssemen. Seedorf menjelaskan kondisinya dan setelah dilakukan pemeriksaan, dirinya menderita cedera di kunci paha. Cedera tersebut terus dialaminya selama satu setengah musim. Ketika itu Pierre Meersemen lalu membiusnya dan mulai langkah pengobatan, serta mencabut gigi geraham bungsunya yang terjepit. Setelah itu cedera Seedorf benar-benar hilang dan dia kembali membangun karirnya dengan gemilang.
Di Inter Milan dalam periode 2000 hingga 2002 dia bermain dalam 65 pertandingan dan hanya mencetak 8 gol. Sementara 10 tahun kebersamaannya bersama AC Milan dilalui dalam 300 pertandingan dengan mencetak 48 gol. Dia membantu Milan menjuarai Liga Champions pada 2003 dan 2007 yang membuatnya menjadi pemain yang bisa menjuarai Liga Champions dengan tiga klub berbeda (selain bersama AC Milan, Seedorf juara bersama Ajax Amsterdam pada 1995 dan Real Madrid di 1998).
Pemain-pemain senior bisa terus dalam kondisi bugar. Ketika mereka menjuarai Liga Champions di 2007, rata-rata umur skuat AC Milan 29 tahun. Rataan yang tua jika dibandingkan dengan kontestan lainnya. Dan itupun, skuat inti AC Milan lebih banyak yang sudah berada di atas 30 tahun dibanding yang di bawahnya. Usia 30 tahun untuk ukuran pesepakbola sudah dianggap tua dan performanya biasanya mulai menurun.
Lab Milan Bukan Tanpa Masalah
Meskipun dianggap sebagai salah satu yang terdepan dan pernah menginspirasi Chelsea untuk membentuk Lab Chelsea ketika Carlo Ancelotti menukangi klub London itu mulai 2009, Lab Milan bukan tanpa masalah. Dalam dinamikanya, Lab Milan kerap disangsikan manfaatnya dan dianggap beberapa kali melakukan kesalahan fatal.
Lab Milan pernah dipersalahkan dalam memberikan pengobatan pada cedera kaki Ronaldo pada 2007. Kaka pada 2009 sempat bilang bahwa proses penyembuhan cedera yang dia alami berjalan lima kali lebih cepat setelah ditangani oleh tim medis Brasil. Kemudian Alexander Pato ketika sudah pindah ke Corinthians mengatakan jika sumber cedera kambuhannya berasal dari perawatan di Lab Milan. Hal ini seperti yang pernah dikatakan oleh Owen Hargreaves mengenai tim medis Manchester United yang dianggap memakainya sebagai “kelinci percobaan” sehingga cedera yang dialaminya tidak kunjung sembuh.
Kini masalah kembali muncul lantaran sejak musim lalu AC Milan selalu dihantam badai cedera. Sekali waktu tidak tanggung-tanggung ada 14 pemain yang cedera. Pemain Milan yang masuk daftar cedera antara lain Gabriel, Giampaolo Pazzini, Riccardo Sapanora, M. A. Silvestre, Daniele Bonera, Mattia De Sciglio, Stephan El Shaarawy, Riccardo Montolivo, Ricardo Kaka, Ignazio Abate, Valter Birsa, Cristian Abbiati serta Mario Balotelli. El Shaarawy, yang begitu fenomenal musim lalu, sudah cedera sejak 1 September 2013 karena menderita cedera paha dan kemudian Microfracture. Bonera sejak bulan Juli 2013 sudah absen. Pazzini bahkan tak memperkuat AC Milan sejak Mei 2013 karena cedera lutut.
Kebanyakan dari pemain itu seperti Kaka dan Balotelli memang sudah kembali merumput, tetapi biasanya mengalami cedera kambuhan. Mario Balotelli mengalami cedera otot paha kambuhan yang diderita selama memperkuat timnas Italia dalam kualifikasi Piala Dunia melawan Armenia. Pemain gagal kembali bugar seratus persen dan tentunya menjadi kesulitan untuk memberikan performa terbaiknya.
Badai cedera pun menjadi salah satu alasan utama Massimiliano Allegri untuk menjawab mengapa performa AC Milan musim ini begitu buruk. Menurunnya kinerja Lab Milan disinyalir setelah mundurnya Daniel Tognanicci dan digantikan oleh Simone Goblins. Kalau menurut Jean Pierre Merrsseman, gejala penurunan Lab Milan sudah dimulai sejak tiga tahun yang lalu. Ketika semuanya sudah berjalan baik, manajemen AC Milan mulai tidak serius untuk membiayai dan mengembangkan Lab Milan. Padahal di sisi lain, sepak bola terus berkembang. Akhirnya ada yang tidak cocok lagi antara yang ada di Lab Milan dengan kebutuhan dalam sepak bola modern.
Jadwal yang semakin padat dan permainan yang berkembang semakin cepat telat diantisipasi oleh Lab Milan yang masih bergaya tradisional. Sepak bola klasik dan lambat khas Italia kini sudah mulai bergeser pada gaya bermain yang lebih cepat dan bertenaga. Apalagi Allegri lebih menyukai tipe pemain pekerja, alhasil pemain pun bergerak lebih cepat dan lebih sering berduel. Ini membuat pemain lebih rentan cedera dan belum diantisipasi oleh Lab Milan.
Jika masih ingin menyandang predikat sebagai fasilitas kesehatan terbaik di Eropa, Lab Milan harus segera berbenah dengan siapapun kepalanya. Tidak hanya itu, manajemen AC Milan sudah waktunya kembali menaruh perhatian besar kembali pada Lab Milan, terlebih mereka kini tak punya cukup uang untuk membeli pemain hebat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar